Mengapa Kita Perlu Menulis
Selama dua tahun (2008-2010), saya tinggal di asrama PPSDMS (Program Pengembangan SDM Strategis) Reg 3 Yogyakarta, suatu program beasiswa yang memberikan kami pelatihan kepemimpinan rutin dan tempat tinggal. Salah satu program utamanya adalah ‘Training Jusnalistik.’ Setiap bulan sekali, kami mendapatkan pelatihan kepenulisan dari jurnalis nasional, tentang pentingnya menulis, kaidah kepenulisan, hingga kami diwajibkan menuliskan satu artikel setiap bulan sebagai bagian dari evaluasi bulanan kmi. Dengan adanya tekanan untuk lebih aktif menulis, ditambah dengan dorongan sosial dari kawan-kawan yang hampir setiap pekan tulisannya mewarnai harian nasional atau juara lomba kepenulisan, tentunya keinginan untuk belajar menulis itu muncul. Siapa yang tidak akan meringis malu jika hidup satu atap dengan sosok seperti Wisnu Prasetya U. dan Arya Budi, yang tulisannya kerap nongol di koran nasional, padahal saya mau nulis apa aja masih bingung.
Tiga (3) tahun masa itu telah lewat. Walau kemampuan menulis saya tidak bisa meningkat drastis, minimal kepahaman akan urgensi menulis mulai tumbuh. Salah satunya adalah melalui blog ini, apa sih yang membuat saya menulis dan kenapa saya menulis tentang hal-hal seperti yang sudah saya tulis, bukan hal-hal lainnya? Kita coba akan berdialog kecil tentang kemanfaatan dari menulis dan perlunya kita memulai kebiasaan itu, sedikit demi sedikit.
Karakterisasi Diri
Ketika memulai menulis artikel di blog ini, sangat banyak tulisan-tulisan yang ndak mutu dan tidak layak baca. (Tapi biarlah, yang terjadi biarlah terjadi, toh sudah jadi masa lalu.) Saya menulis apa yang bisa saya tulis, dengan segala kedangkalan cara pandang dan pemahamannya. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, entah dari mana saya mendengarkan nasihat: bahwa dalam menulis ada 3 hal (panduan) kecil yang perlu kita perhatikan.
- perlukah saya menulis tentang hal ini?
- apakah hal ini perlu ditulis oleh saya?
- layakkah tulisan ini saya tulis di saat ini?
Dengan tiga hal singkat inilah saya mencoba membuat diferensiasi diri dalam menulis, bukan asal tulis atau hanya mengikuti trend, tetapi mencoba membuat corak yang khas akan saya. Saat muncul ide, saya memikirkan kembali apakah hal tersebut perlu saya tuliskan di blog (point 1): diskusi dengan diri saya sendiri akan kemanfaatan dan tidaknya tulisan itu. Kemudian jika memang saya menyatakan bahwa hal itu layak tulis, lalu saya kembali bertanya kepada diri saya, apakah hal tersebut layak/perlu ditulis oleh saya (point no 2), kadang ada hal yang belum pas jika saya yang menulisnya atau terlalu umum sehingga biarlah orang lain yang menulis atau tidak perlu saya tulis karena sudah banyak di luar sana. Setelah saya yakin bahwa itu perlu saya tulis dan baik jika ditulis oleh saya, maka saya menganalisis ketepatan waktu tulisan saya (point 3). Kadang kala saya berada pada suatu komunitas/kegiatan yang membuat saya harus lebih sabar dalam menulis, untuk menjaga opini sekiling tentang suatu hal. Dari ketiga point tadi lama-lama akan menghadirkan corak khusus bagi kita, lama-lama orang akan tahu karakter kepenulisan kita dan ketika membaca, mereka akan bilang, “Wah, ini si ‘A’ banget nih tulisannya!” atau “Tulisan gini mah pasti tuilisannya si ‘N’ nih!”.
Introspeksi Diri dan Membaca Diri Lebih Dalam
Untuk menulis kita membutuhkan gagasan yang ingin diungkapkan, dan seringkali ide tersebut muncul dari pengalaman atau pengamatan akan peristiwa yang terjadi dengan diri kita atau di sekitar kita. Ketika kita memiliki semangat untuk menulis, maka kita akan berusaha untuk melihat sesuatu secara lebih dalam daripada orang lain. Kita mencoba untuk melihat sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata, suatu pesan singkat/hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut: mencoba membaca sesuatu yang tidak terlihat oleh sebagian besar orang. Peristiwa yang kita alami pun juga coba kita pahami dan ungkapkan dengan cara yang berbeda, dengan kacamata pengamatan yang lebih dalam.
Sebagai contoh kecil, misalkan kita sedang berjalan menuju kampus/kantor, melewati berbagai kejadian sepanjang perjalanan tadi. Dengan adanya semangat untuk menulis dan mengambil hikmah, kita tidak hanya akan lewat, tetapi juga mencoba untuk mengamati perilaku pengemudi mobil yang bergegas ke kantor, mencermati interaksi antara penjual buah dengan pembelinya yang tak henti-hentinya menawar, menikmati indahnya (atau panasnya) kondisi lingkungan perjalanan, atau sampai pada berpikir mencari solusi akan permasalahan pengemis jalanan yang tidak ada hentinya di tanah air. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya akan lewat saja. Kita mencoba untuk ‘memotret’nya, lalu kita gabungkan dengan pola pikir kita, kemudian kita cari asosiasi-asosiasi dengan berbagai pengalaman/pemahaman hidup, untuk selanjutnya kita tuangkan dalam tulisan. Hal-hal kecil tersebut bisa menjadi pemicu bagi lahirnya paragraf-paragraf hasil senam jari-jari kita di atas keyboard.
Berbagi pada Orang Lain: “Kosong adalah Isi, Isi adalah Kosong”
Setiap dari kita dibesarkan dengan latar belakang yang berbeda, di lingkungan yang beragam, dalam proses yang tidak serupa, sehingga tidaklah mengherankan jika kita sekarang berada pada pola pikir, pengalaman hidup, pemahaman, sikap mental, dan wawasan yang bervariasi. Tulisan yang kita anggap hebat bisa jadi dianggap celotehan ndak mutu bagi para penulis kawakan, atau ketikan iseng kita bakdha Subuh menjelang berangkat ke kampus mungkin saja menjadi inspirasi bagi sebagian orang untuk lebih semangat pada hari itu. Kita tidak akan pernah bisa selalu menjadi lebih dari orang lain, dan daripada sibuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain lebih baik energi itu kita gunakan untuk berkarya, untuk berusaha memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Apa yang kita anggap ber”isi” padat, bisa saja dianggap “kosong” oleh orang lain, dan sebaliknya karya “kosong” kita mungkin juga menjadi sangat ber”isi” bagi sebagian orang.
Tidak ada maksud untuk menggurui atau pun menunjukkan kehebatan saya ketika saya menulis. Saya hanya berharap ketika apa yang saya pikirkan bisa terwujudkan dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca oleh orang lain, semoga artikel tersebut bisa menghadirkan sedikit manfaat bagi orang lain. Dengan prinsip sebaik-baik orang adalah yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain, saya berusaha menjadi lebih baik dengan latihan menulis, mencoba berbagi pandangan/pengalaman yang mudah-mudahan bisa menghadirkan sebongkah senyuman di wajah yang gundah gulana, setetes asa di kalbu yang hampir putus asa, atau sebatas selarik nasihat bagi yang sedang berusaha meningkatkan kompetensi diri. Kita tidak pernah tahu bagaimana orang lain bisa terubah hidupnya karena membaca tulisan kita. Siapa tahu dengan tulisan kita semangat belajarnya naik, motivasinya untuk mengatasi keterbatasan membumbung tinggi, atau mungkin kepongahan dirinya bisa teredam, atau ada nasihat lama yang teringatkan lagi padanya lalu membekas seumur hidupnya.
Berikutnya -> (bagian dua)
Pingback: Mengapa Kita Perlu Menulis: bagian 2 | A Call for Youth
Reblogged this on Ari's Journal.
Jadi inget pas di asrama dulu sama Pak Sapto Waluyo. 😀
Pengalaman dan pendidikan yg luar biasa bersama beliau.
Reblogged this on Adhitya Reza.