Give [Almost] Everything, Expect Nothing


Senin pagi, selepas menunaikan sholat Subuh di Masjid Al-Falah, IKMI, Yongdeung-po, Seoul, aku mencoba mendapatkan bus ke bandara sepagi mungkin agar tidak tertinggal penerbangan Incheon-Jakarta pada pukul 10.30. Bukan aku yang akan pulang memang, sehingga sampai disana sekitar jam 8.30 pun akan cukup untuk berpamitan dengan yang akan pulang. Alhamdulillah waktu belum genap 7.30 saat aku sampai pada Gate C di Incheon International Airport.

Pagi itu, salah satu legenda dalam perjuangan warga negara Indonesia (WNI) di Korea Selatan, Andy Tirta, kembali ke tanah air selepas terselesaikannya program doktoral-nya di Korea Selatan. Mengapa kutuliskan sebagai legenda? Hampir semua organisasi WNI di Korea pasti mengenal beliau. Pernah menjabat sebaga sekjend KMI, lalu presiden PERPIKA, aktif dalam beberapa program IMUSKA, sosok yang dihormati ICC dan paguyuban, pembina FKMID, tutor UT Korea, sosok wirausahawan yang melayani masyarakat dengan produk-produknya, hingga presiden UNIMIG Korea, dan mungkin banyak lagi yang tidak bisa kami sebutkan semuanya.

Sebagai bentuk penghargaan atas segala pengorbanan dan perjuangan beliau bagi kami, para WNI di Korea, aku pun memohon izin pada ketua Lab untuk datang terlambat ke lab, agar bisa mengantar kepulangan beliau. Sayang beliau pulang di hari Senin pagi, jika beliau dapat tiket hari Sabtu atau Ahad/Minggu, pastinya bandara akan penuh dengan WNI. Ada maksud tersembunyi dalam pertemuan itu, aku hendak minta nasihat dan pembalajaran darinya, sang legenda hidup, sebelum kepergiannya.

de la Nasihat

“Kun, saat kita berkorban atau melakukan berbagai hal untuk orang lain, jangan berharap apa pun dari-nya atau dari orang lain atas perbuatan kita,” begitu kalimat indah itu meluncur dengan lembut tanpa ada nuansa mengajari sedikitpun, “Akan sayang sekali jika amalan kita itu hanya untuk mendapatkan imbalan dari manusia. Karunia dan balasan Allah jauh lebih besar dan pantas kita harapkan.”

Nasihat yang barangkali tak jarang kita dapatkan, tetapi jika tersampaikan dari orang yang terpercaya atas segala kontribusinya, terasa semakin menempel di kepala. Begitu cetar membahana.

“Saat kita mengharapkan imbalan dari seseorang yang kita bantu, maka kala dia benar-benar membantu kita di kemudian hari, hal itu terasa biasa-biasa saja. Karena kita telah mengharapkannya. Bahkan jika imbalannya tidak sebanyak yang kita bayangkan, bisa saja kita kecewa. Apalagi jika tidak ada balasan, hati kita bisa sangat besar rasa kecewanya,” lanjutnya sambil meletakkan tas punggung di bangku “Namun bila kita tidak mengharapkan apa-apa, maka kita menujukan semuanya karena-Nya. Terlepas ada balasan darinya atau manusia/lembaga lain itu hanya tambahan tak pernah kita bayangkan. Selain akan terasa lebih manis saat ada imbalan dari manusia (jika memang ada, tak ada pun bukan masalah), kita juga terlatih untuk menjaga keikhlasan diri dan kesucian niat.”

Sebakda bersalaman, berpelukan, dan melambaikan tanda perpisahan kala Mas Boy–panggilan akrabnya–memasuki pintu check-in, kalimat-kalimat itu masih dengan sangat lekat menempel di dasar kepala, hingga turun ke hati. Laiknya pepatah umum, apa yang datang dari hati akan sampai ke hati. Seperti nasihat beliau, beliau mungkin menyampaikan ini tanpa mengharap apa pun dari saya atau manusia lainnya.

Bersama Mas Boy

Bersama Mas Boy

Aku pun membayangkan banyak hal dalam perjalanan di bus 6003, menuju Seoul National University. Selama hampir 2 jam di dalam bus, aku coba renungkan kembali apakah sudah murni semua kerja-kerjaku selama ini? Seberapa besarkah masih tertanam di hati untuk mendapatkan pujian atau ucapan terima kasih dari manusia? Sudahkan aku meniadakan pengharapan balasan dari manusia? Dan tentu yang lebih utama, murni karena Dia-kah aku melakukan semuanya?

Mari kita secara bersama serap nasihat dari Mas Boy tersebut, nasihat untuk memurnikan niat. Sehingga kala kita repot-repot mengadakan bakti sosial, hanya rahmat Allah yang kita harapkan. Repotnya kita dalam menjadi panitia suatu seminar, workshop, atau pun pengajian, semuanya demi mengharap ridho-Nya. Begitu pula kala membantu rekan yang kesulitan dalam kerja atau tugas sekolah/kuliahnya.

“….. Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia,
tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya,
tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih.
Yang kami harap adalah
terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat
serta kebaikan dari Allah – Pencipta Alam semesta”
(Idealisme Kami, PPSDMS)