Catatan Selama S1 di JTETI UGM


Saya percaya bahwa pendidikan merupakan pembuka bagi masa depan yang lebih baik. Bukan hanya membuat kita bisa menghitung integral, paham akan teori politik, atau fasih berbahasa Inggris, tetapi lebih dari itu, pendidikan mampu mengubah pola pikir kita. Pendidikan membuat hal yang dahulu kita anggap tidak mungkin menjadi tampak sangat mudah, atau apa yang kita anggap hebat ternyata biasa-biasa saja.

Atas dasar itulah, saya berusaha untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang saya miliki dalam dunia pendidikan sebaik mungkin. Dengan bekerja keras sebaik mungkin, dengan tujuan memperbaiki kualitas diri agar menjadi anak yang lebih membanggakan orang tua, supaya bisa lebih bermanfaat bagi sekitar, dan barangkali bisa ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan sebagian permasalahn bangsa.

Semangat untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap kesempatan dan menggunakan setiap peluang sebaik mungkin, menjadi dasar saya untuk senantiasa bekerja keras. Tidak mau menjadi orang biasa-biasa saja, dan terus menerus berusaha menjadi lebih baik.

Tidak terdapat banyak hal yang sangat istimewa memang, pun sangat banyak mahasiswa dengan capaian yang lebih dahsyat. Tetapi saya hanya ingin berbagi, untuk menyampaikan bahwa mahasiswa biasa yang barangkali di awal kuliah tidak ada bayangan banyak tentang masa depannya, dengan kerja keras akhirnya dibimbing-Nya ke tempat-tempat yang tidak pernah ia bayngkan sebelumnya.

Mapres Dies Natalis UGM ke-62

Mapres Dies Natalis UGM ke-62

Bukan untuk pamer, tetapi sebagai ucapah terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak berkontribusi membimbing saya serta mungkin bisa menjadi pemicu adik-adik kelas agar menjadi jauh lebih baik.

  1. IPK 3.92 dengan 177 SKS selama 4 tahun 3 bulan
    Sangat banyak memang mahasiswa di UGM (dan di kampus-kampus lain di Indonesia) yang lulus dengan IPK lebih dari 3.92, bahkan setiap wisuda di Ghra Sabha Pramana (GSP) UGM, IPK tertinggi pasti selalu lebih besar dari itu, yang mana wisuda berlangsung 4 kali setahun. Tetapi tentunya hal itu bukanlah hal yang sepele dan mudah diraih. Sepertinya tidak banyak mahasiswa di Fakultas Teknik (khususnya di JTETI) yang bisa meraih IPK segitu. Dalam Transkrip Nilai yang saya terima, tertulis 177 SKS, 33 lebih banyak dari syarat minimal (dan rata-rata mahasiswa UGM) yakni sebanyak 144 SKS. Hal ini yang barangkali susah untuk didapatkan oleh mahasiswa lain: 177 SKS untuk program S1. Alhamdulilah semuanya bisa saya selesaikan dalam waktu 4 tahun 3 bulan. (18 SKS–semuanya dengan nilai A–tertulis di transkrip tetapi tidak dimasukkan dalam penghitungan IPK)
  2. Mahasiswa Berprestasi UGM (versi DIKTI) dan Mahasiswa Berprestasi dalam Dies Natalies UGM ke-62
    Setiap tahun DIKTI (Direktorat Pendidikan Tinggi) Kemendikbud selalu melakukan pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Mapres/Mawapres), yakni mahasiswa dengan prestasi akademis yang bagus, aktivitas co- dan intra-kurikuler yang banyak dan bermanfaat, serta kecakapan berbahasa asing. Setelah melewati seleksi tahap jurusan (JTETI), fakultas (Fakultas Teknik), akhirnya saya dipilih sebagai mahasiswa berprestasi (Mapres) peringkat 1 UGM tahun 2010, menyisihkan mahasiswa-mahasiswi unggulan dari total 18 Fakultas di UGM. Nilai akademis, aktivitas penelitian, keaktivaan berorganisasi, dan pemahaman bahasa Inggris menjadi faktor yang membawa saya bisa ke sana.
    Satu tahun setengah setelah terpilih sebagai Mapres UGM, pada Dies Natalies UGM ke-62 tanggal 19 September 2012 di GSP UGM saya mendapatkan penghargaan Mahasiswa Berprestasi UGM dalam Dies Natalies UGM dalam pengembangan jaringan kampus. Interaksi saya dengan berbagai lembaga internasional yang bekerja sama dengan UGM serta kerjasama dengan kawan-kawan mahasiswa pilihan untuk mengelola situs Inspirasi UGM sepertinya menjadi dasar atas anugrah tersebut. Atau barangkali sebagai hadiah-Nya atas kerja keras kami mengurusi sistem Pemilihan Mahasiswa Berprestasi di UGM.
  3. Best Paper Award di WCOMLIS 2011 di Malaysia
    Pengalaman yang sangat berharga dalam dunia penelitian bagi kami. Saya bersama dua rekan dahsyat dari JTETI UGM, Dimas Agil (ketua FORSALAMM UGM) dan Canggih (sesepuh penelitian di kalangan mahasiswa TI UGM), mencoba keberuntungan dalam “latihan meneliti.” Setelah program yang sama gagal dalam hibah UGM, pun tidak lolos untuk seleksi karya tulis MTQ, PKM pun tidak lolos, akhirnya kami rombak dan modifikasi dan kami ikutkan dalam paper internasional di Malaysia. Dalam WCOMLIS (World Congress of Muslim Librarians and Scientists) di International Islamic University of Malaysia (IIUM), kami menjadi satu-satunya tim yang anggota terdiri dari mahasiswa S1 semua.  Rasa minder pun sangat jelas terasa ketika presentasi di hadapan banyak ahli dan mahasiswa PhD atau dosen-dosen disana. Dengan tujuan awal ingin merasakan suasana international conference dan sekalian ke luar negeri, kami pulang dengan menjadi salah satu peraih “Best Paper Award” yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.
  4. Student Exchange ke Korea Selatan dengan IPK 4.41 dan 4.45 (dari 4.5)
    Pada awal semester ke-3 saya di UGM (akhir tahun 2008) saya mendapatkan tawaran dari Pak Sarjiya Ph.D yang kebetulan saat itu menjabat sebagai PPJ Kemahasiswaan JTETI untuk mendaftar ke Korea Selatan. Alhamdulillah saya bisa terpilih mewakili UGM ke Korea Selatan, bersama 29 mahasiswa pilihan dari kampus-kampus unggulan di negara-negara ASEAN. Alhamdulillah selama dua semester di sana saya hanya mendapat 2 nilai A di semester satu dan 1 nilai A di semester 2, sisanya berupa A+ (33 SKS per semester, total 66 SKS selama dua semester, 47 tertransfer ke UGM). Dengan sistem A+ yang dihitung 4.5, alhamdulillah IP saya 4.41 dan 4.45 untuk dua semester tersebut, tertinggi di antara seluruh 30 mahasiswa yang mengikuti program tersebut.
  5. TOEFL-ITP with 607 Score (ELTI Gramedia)
    Karena sudah dari awal kuliah memiliki niatan untuk meneruskan belajar ke luar negeri, saya percaya bahwa kemampuan bahasa Inggris wajib diasah agar bisa lulus seleksi administrasi dan dapat berkomunikasi dengan lancar. Walau saya baru mulai belajar bahasa Inggris sejak SMP, sangat terlambat, alhamdulillah berkat sekolah di SMA Semesta yang pengantarnya bahasa Inggris untuk sebagian besar mata pelajaran, pengalaman selama 1 tahun ikut program AFS di Maryland, AS serta program belajar bahasa Inggris selama di asrama PPSDMS Nurul Fikri, akhirnya saya bisa mendapatkan nilai yang cukup baik dalam TOEFL: 607. Walau saat itu belum punya rizki untuk ikut iBT atau PBT yang sebenarnya, tapi saya yakin nilai 607 bukanlah nilai yang bisa didapatkan secara sembarangan orang.
  6. PPSDMS Award (Peserta Terbaik wilayah 3 dan Peneliti Muda & Pembaharu Teknologi)
    Pada bulan Agustus 2010, tepat 2 tahun setelah kami diterima sebagai peserta PPSDMS (Program Pembinaan SDM Strategis), kami ‘diwisuda’ dalam rangkaian PKN (Pekan Kepemimpinan Nasional). Di antara 30 mahasiswa unggulan di UGM (aktivis kampus, peneliti, jagoan lomba, aktivis sosial, pentolan rokis/LDK, jurnalis, dll) saya terpilih sebagai peserta terbaik. Memang masing-masing dari kami punya keunggulan masing-masing, tetapi yang hendak saya utarakan adalah bahwa saya yang minder dengan mereka semua ketika pertama masuk, bisa pelan-pelan belajar dari kelebihan mereka masing-masing, untuk kemudian senantiasa mengembangkan diri, sehingga akhirnya menurut tim seleksi (ya, tim seleksi, bukan secara mutlak memang, dan kenyataan pun tentunya bisa beda). Pun ada penghargaan tambahan sebagai peneliti muda dan pembaharu teknologi. Di antara 150 peserta dari 7 kampus utama di Indonesia (UI, ITB, UNPAD, UGM, IPB, UNAIR, dan ITS) hanya terdapat dua peserta yang mendapatkan 2 penghargaan.
  7. Mengisi Lebih dari 30 Diskusi kemahasiswaan di berbagai Kampus dan Sekolah
    Selain kuliah dan beraktivitas di organisasi kampus, saya juga sering berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa lain, khususnya para junior yang semangat untuk memperbaiki diri. Dari mulai diskusi tentang cara belajar UAS bagi mahasiswa fakultas teknik, cara mendapatkan beasiswa ke luar negeri bagi mahasiswa JTETI UGM, motivasi semangat berprestasi bagi adik-adik hoshiZora Foundation, hingga ASEAN seminar di Daejeon University dan Student World Forum di Chulalongkorn University, Thailand. Semuanya melatih saya yang memang lemah dalam berbicara, untuk bisa lebih menguasai diri dan emosi ketika harus berbicara di depan forum. Berbagi pengalaman dan kisah hidup yang semoga bisa membangkitkan semangat orang lain agar menjadi lebih baik.
  8. Asisten Dosen (5) dan Asisten Praktikum Lab (3)
    Sejak kepulangan saya dari Korea pada awal 2010, saya memutuskan bahwa masa depan saya akan berada di jalur akademis. Oleh karena itu saya memutuskan untuk memperbanyak aktivitas keakademisan di kampus. Belajar untuk membimbing adik-adik angkatan dalam melakukan praktikum di laboratorium. Bukan hanya untuk mendapatkan uang 120.000-an per semester, atau menguatkan kompetensi programming, namun bisa menjadi sarana pembangunan jaringan (network) ke adik kelas prestatif yang sangat penting untuk komunikasi/relasi di masa depan.
    Latihan untuk menjadi dosen pun saya mulai dengan menjadi asisten dosen. Mulai dari tugas-tugas biasa seperti mengecek hasil UAS mahasiswa, hingga kadang-kadang (pernah selama setengah semester penuh) menggantikan dosen mengajar di kelas (padahal ilmu saya juga masih dangkal-dangkal aja, ndak jauh sama mahasiswa yang ikut kuliah). Namun yang paling terasa adalah komunikasi dengan Bapak/Ibu dosen yang semakin erat sehingga bisa banyak belajar dari beliau-beliau. Pernah saya ‘malam mingguan’ di rumah salah satu dosen tersebut sampai jam 1 pagi hanya untuk numpang makan malam dan minta tanda tangan.
  9. Aktif di Organisasi tingkat Jurusan, Fakultas, dan Universitas
    Salah satu langkah besar yang saya ambil selama di kampus adalah nekat untuk terlibat dalam dunia keorganisasian. Saya yang dulu dari SD sampai SMA hanya fokus di bidang akademis (alhamdulillah bisa dapat ranking 1 dari kelas 1 SD sampai 3 SMA), mencoba untuk meningkatkan kompetensi diri, yaitu belajar ‘soft skill’ di berbagai organisasi kampus. Dari mulai organisasi tingkat jurusan (KMTE (sekarang KMTETI)), tingkat fakultas (BEM KMFT) hingga tingkat universitas (BEM KM UGM). Namanya juga belajar, banyak kegagalan dan keruwetan yang saya alami di sana, tetapi alhamdulilah pengalaman yang menambah kemampun manajemen interaksi sosial, berbicara di depan umum, pengaturan prioritas diri, kepedulian sosial, jurnalisme, hingga provokasi/mobilisasi massa pun bisa membantu diri dalam fase berikutnya di hidup ini.
  10. Skripsi Berbahasa Inggris (60 halaman) dan Terpublish sebagai Paper di Turki
    Skripsi (secara umum) hanya ditulis sekali seumur hidup sehingga saya berfikir harus dibuat secara spesial, tidak boleh biasa-biasa saja. Spesial bisa berupa tema, cara penyampaian, hasil karyanya atau cakupan penelitian/kemanfaatannya. Karena tidak bisa mengambil semuanya, saya berusaha untuk mengambil tema dan cara penyampaian yang berbeda. Dengan sedikit Kecerdasan Buatan (AI) dan Pemodelan 3D (3D Modeling), saya menuliskan karya seputar UAV (Un-manned Aerial Vehicles) atau Pesawat Udara Nir Awal (PUNA) dalam bahasa Indonesia.
    Kemudian saya memilih menggunakan bahasa Inggris untuk menuliskan karya saya. Selain untuk latihan menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris, saya yakin hal ini akan lebih bermanfaat ke depannya. Karena saya bercita-cita sekolah lanjut, karya ini akan jelas lebih bermanfaat untuk perkenalan dengan dosen saat S2 atau untuk tahapan berikutnya. Alhamdulillah beneran terjadi: karya ini saya gunakan sebagai salah satu bahan untuk mengontak profesor di SNU (Seoul National University) melalui program beasiswa KGSP (Korean Government Scholarship Program). Selain itu, sebelum saya berangkat ke Korea, karya saya alhamdulillah bisa tembus salah satu seminar di Turki dan dipresentasikan oleh Dosen Pembimbing saya di sana.
    Catatan menarik berikutnya adalah pada awal skripsi, seperti kebanyakan mahasiswa lain, saya terlalu semangat menulis sehingga yang kurang esensial pun saya masukkan ke konten dan bahasanya kurang ringkas. Saya diminta oleh dosen pembimbing untuk memakai syarat “minimum jumlah halaman skripsi” yakni 60 halaman isi. Well, tentunya menjadi tantangan tersendiri untuk memangkas tulisan sendiri dari 120 halaman lebih menjadi 60 halaman. Perasaan sayang harus menghapus berbagai konten atau memindahkan banyak hal ke lampiran jadi tantangan tersendiri. Tapi jika jurnal internasional saja sangat jarang yang lebih dari 20 halaman, masak karya ecek-ecek saya tidak bisa dibuat 60 halaman. Akhirnya 60 halaman persis bisa saya bikin dan beberapa puluh halaman lampiran. Sangat tipis untuk rata-rata anak JTETI. Tetapi seni untuk memangkas dan melawan nafsu diri agar tampak bekerja banyak dengan menuliskan banyak hal, juga merupakan sesuatu yang asyik dan menarik dalam menulis skripsi.