Menulis Sejarah Sendiri: Merobohkan Aral, Meraih Mimpi (1)


Setiap dari kita mempunyai tantangan hidup yang unik, berbeda dengan orang lain. Begitu pula dengan impian kita, jarang serupa dengan kepunyaan invidu lain. Walau mungkin tantangan yang kita hadapi tidak sebesar SBY kala memimpin negeri ini. Kendati mimpi kita barangkali tidak setinggi Einstein kala dia remaja dulu. Namun yang pasti, kita tidak boleh diam dalam kekurangan dan tunduk pada tantangan itu. Sekecil apa pun impian kita di mata orang lain, kita tidak boleh menyerah untuk menggapainya.Izinkanlah saya untuk bercerita tentang seorang pemuda dengan impian sederhana di mata banyak orang kota, pun dengan tantangan hidup nan lazim bagi sebagian masyarakat Indonesia: keinginan bisa terus sekolah dengan kondisi ekonomi orang tua yang setara dengan biaya nge-kost sebulan di Yogyakarta. Kisahnya mungkin tidak semengkilat kisah anak tukang becak yang menjadi wisudawan terbaik di UNNES atau kisah mahasiswi kurang mampu nan penuh prestasi sehingga membuat SBY menangis penuh haru. Karena sederhana, maka setiap pemuda bangsa yang mengalami hal serupa pun bisa belajar dari cerita ini. Atas kesahajaan narasi ini, maka makin mudah pula dijiplak oleh mereka yang berharap akan pendidikan nan layak di tengah himpitan ekonomi.

Kisah Sederhana Pemuda Desa

Cerdas dan agak nakal, pemuda itu punya track record akademis nan apik di masa SD dan MTs-nya (ket: setara SMP). Di setiap penerimaan raport jarang dia terlempar dari posisi tiga besar. Beberapa perlombaan pun dia ikuti dan terdapat sejumlah sertifikat atas namanya. Namun apa daya, dengan hidup di keluarga sederhana yang di kampung itu pun masuk kategori ekonomi bawah, keinginan dan kerja kerasnya tidak berbanding lurus dengan kesempatan yang ada. Tidak adil mungkin rasanya ketika melihat pemuda-pemuda seperti dia yang di tengah keterbatasan terus berjuang, tapi akhirnya kondisi lingkungan melucuti harapannya.

Pemuda yang gemar membongkar pasang alat-alat elektronik dan sepeda motor ini pun akhirnya harus melupakan mimpi untuk duduk di bangku kulian, dan banting setir menjadi tukang kayu yang membuat bangku. Barangkali sebagian bangku itu pula yang dikirim ke kampus untuk diduduki mereka yang diberikan kesempatan untuk kuliah. Alih-alih memeras otaknya untuk menyelesaikan tugas Fisika di SMA, dia harus memeras keringatnya sebagai tukang kayu, serupa dengan banyak pemuda di kampungnya.

Entah karena putus asa atau merasa hancur atas kegagalan melanjutkan studinya, dia pun tampak tak bersemangat menjalani hidup. Badan yang gagah itu pun dihuni oleh qolbu nan kacau. Pengaruh lingkungan pula yang mungkin membuatnya tercebur dalam dunia per-cigaret-an. Ia yang dulu, walau agak bandel, gigih belajar, tampak segan menghadapi hidup. Kerja ogah-ogahan, tidak lebih dari 3 kali seminggu dia masuk kerja, pun akhirnya sering disindir oleh bosnya. Untungnya dia hidiup di kampung yang nilai kekeluargaan lebih dikedepankan daripada motif ekonomi, sehingga dia pun tetap bisa kerja. Di rumah pun dia sering beradu mulut dengan orang tua untuk urusan-urusan sepele. Pun tak jarang pulang tengah malam. Sungguh jauh dari karakternya saat masih di MTs dulu.

Walau demikian, semangat belajarnya tak pernah padam. Ketika musim pendaftaran SMA tiba, dia menata-nata kembali bukunya di kamar. Momen yang selalu membuat orang tuanya hanya bisa menangis tak berdaya. Kuatnya keinginan untuk menyekolahkan anak tak sebanding dengan kapasitas ekonomi. Apalagi beban untuk meyokong biaya sekolah anak pertama mereka yang jauh dari rumah (walau dia sekolah dengan beasiswa). Dia pun tetap bergaul dengan kawan-kawan MTs-nya yang sebagian beruntung bisa berlanjut ke SMA.

Kesempatan untuk melanjutkan belajar pun akhirnya datang. Bukan di kursi mewah SMA memang, tetapi kejar paket C, sekolah dua kali sepekan yang dia jalani di tengah-tengah kerjaannya sebagai tukang kayu. Alih alih beradu cerdas dengan pemuda/i sebaya, dia harus bersabar duduk bersama dengan Bapak-bapak yang sekolah hanya demi selember ijazah. Tentu hal itu membuatnya jengah.

Impian nan jauh, digerus oleh ombak di pantai

Impian nan jauh, digerus oleh ombak di pantai

Jogja Episode Pertama: Harapan untuk meraih mimpi yang kembali melayang di awang-awang

Kondisi di rumah tidak kunjung membaik. Situasi di tempat kerja makin runyam. Lingkungan nan malahan makin tidak bersahabat. Harapan belajar yang tidak terpenuhi lewat Paket-C. Semuanya menumpuk pada satu kulminasi hingga akhirnya dia nekat ke Jogja. Tanpa modal apa-apa. Hanya harapan akan terbantu dengan kakaknya yang kuliah di kampus ternama di kota itu, impian untuk tertular dengan raihan prestasi kakaknya. Kakak yang mungkin terlalu angkuh mengejar jalan hidupnya sehingga melupakan adiknya yang terlunta-lunta dalam nestapa.

Dengan segala keterbatasan, mereka hidup berdua di Jogja. Walau kakak beradik, mereka jarang bersama. Kakaknya yang sejak SMP tinggal bersama paman, dan SMA di Semarang, dilanjutkan dengan kuliah di Jogja, membuat mereka tidak bisa nyaman bersama, laiknya adik dan kakak pada umumnya. Dengan ijazah SMP, tidak banyak yang dia bisa perbuat di Jogja. Dia pun rela untuk kerja di percetakan yang hanya memberikan 300.000 sebulan, yang dia tabung untuk pendidikannya.

Bersama dengan kakaknya, mereka berjualan makanan ringan dan snack di asrama mahasiswa dan sekretariat organisasi kampus. Minimnya pengetahuan wirausaha dan pola pikir nan kurang kreatif dari mereka berdua tak membuatnya menyerah. Dengan kakaknya yang juga mejadi guru privat anak-anak SMA dan magang di lembaga penerjemah, serta tambahan dari beasiswa di kampus, dan upah di lab, mereka cukup bisa hidup di Jogja. Walau makan dua kali sehari dan berjalan kali 1 km ke tempat kerja tiap pagi harus dia jalani. Dia ikhlas menerimanya, sedikit dan tidak banyak memang, tetapi semua demi mimpi sederhana masa kecilnya: bisa belajar hingga bangku kuliah.

Setelah beberapa bulan dan hidup di lingkungan kos-kosan mahasiswa, pastinya dia tidak bisa menyembunyikan niatnya untuk terus sekolah. Hatinya pasti malu dan terluka ketika makan bersama di warung bubur kacang ijo bersama kawan-kawannya. Kala mereka membicarakan tentang prokerj BEM atau tugas Gambar Teknik, dia hanya bisa meringis.

Setahun di Jogja tak begitu banyak berubah. Kakaknya yang dia harapkan bisa merubah nasibnya belum cukup dewasa untuk jadi katalisator mimpinya. Kehidupannya di Jogja pun harus berakhir ketika kakaknya harus terbang ke Korea. Untuk meraih mimpi katanya. Perkataan klasik nan tampak hebat tapi sejatinya lebih melukai hati sang adik daripada menimbulkan kesan bangga. Dia pun kembali ke Jepara dan melupakan mimpinya. Kehidupannya kembali ke dunia perkayuan, sebagai buruh tukang kayu dengan gaji tak lebih dari ratusan ribu sebulan.

Bagian kedua bisa dibaca disini.