Menulis Sejarah Sendiri: Merobohkan Aral, Meraih Mimpi (2)
Lanjutan dari artikel ini.
Jogja Episode Kedua: Buah manis selepas isak tangis berlapis-lapis
Dengan setengah harap, dia bersama kakaknya berkeliling Jogja untuk mencari tempat belajar. Pesimis dengan ijazah Paket C-nya, maka target awalnya adalah program-program D-1, yang hanya berlangsung setahun. Tempat pelatihan kerja yang menawarkan kursus setahun juga mereka cari di berbagai pelosok Jogja. Hingga sang kakak juga punya ide nyeleneh, untuk iseng-iseng ikut SNMPTN di UGM dan UNY. Sudah biasa merasakan pahit hidup, tak apalah sekali-kali menggantungkan asa setinggi langit, walau akan pahit rasanya. Bebeberapa bulan dia yang lama tak belajar sejak MTs pun akhirnya berusaha belajar mandiri dengan buku-buku bekas kakaknya, untuk SMPTN, walau tak banyak yang bisa dia pahami dari soal SNMPTN yang memang dirancang untuk para siswa lulusan SMA.
Masa ujian SNMPTN datang. Beberapa bulan berlalu hingga keluar hasilnya. Sesuai perkiraan dia, kesempatan ke PTN pun belum menjadi jalannya. Banting setir, PTS-PTS pun menjadi targetnya. Dengan kesadaran tak ingin merepotkan kakak dan orang tua, dia pun memilih kuliah di kampus yang biayanya tak mahal. Persiapan SNMPTN membawa hasil di tempat lain, hasil belajar materi SMA-nya selama dua bulan di dershane membantunya untuk lulus tes masuk UTY, program studi Sistem Informasi (SI). Harapannya dia bisa sering-sering mendapat bimbingan dari kakaknya yang kuliah di Teknologi Informasi UGM. Bapak ibunya pun turut bingung, dengan apa nanti membiayai kuliah anak kedua mereka ini. Tidak lebih dari 1.5juta memang, tetapi itu adalah 3 bulan gaji sang suami. Dengan keyakinan pada-Nya, dia pun bertekad untuk berjuang disana.
Tak mudah bagi pemuda lulusan SMP itu untuk bersaing dengan kawan-kawannya di awal kuliah. Walau dulu saat MTs dia selalu masuk 3 besar, 5 tahun lebih tidak duduk di bangku sekolah beneran membuatnya harus bekerja keras. Kuliah di SI dengan tidak memiliki laptop/komputer menambah tantangan. Bergantian dengan sang kakak, meminjam punya kawan, atau menggunakan komputer lab hingga warnet menjadi kebiasaannya. Dengan tekun dia mencoba bersaing di kampus. Di dershane pun dia semakin nyaman hidup bersama dengan abi-abi (panggilan untuk kakak) dari Turki.
Dia semakin terbiasa untuk bergaul dengan mahasiswa lain, rasa canggungnya mulai hilang. Ketika kakaknya kembali ke Korea pun, dia bisa terus melanjutkan sekolahnya, tidak harus kembali ke kampung seperti sedia kala. Bergaul dengan sahabat kakak-kakaknya pun menjadi sarana baginya untuk meluaskan cakrawala.
Walau hidup susah, dia tetap berusaha membantu kawannya. Ada satu kawan laki-laki yang setiap pagi dia jemput dan beri boncengan di rumah karena ketidakadaan sarana transportasi. Di dershane-pun dia sering memasak untuk yang lain. Kala dershane punya program di SMA Kesatuan Bangsa, yang merupakan jaringan PASIAD juga, dia rajin membantu.
Keajaiban baginya muncul pada musim panas 2011. Keaktivannya dalam kegiatan di dershane diganjar dengan hadiah manis. Sebagai perwakilan dari dershane Jogja, dia dipilih bersama belasan pemuda Indonesia lain untuk mewakili Indonesia dalam Summer Program di Turki. Dia pun berkesempatan untuk pertama kalinya naik kapal terbang. melintasi samudra Hindia ke negeri nan jauh di seberang, tempat yang tak pernah terbayang. Selain berbagai pelatihan dan kunjungan ke kampus-kampus, dia bisa belajar banyak tentang Turki. Kala waktu kecil dia biasa sholat Maghrib di Masjid kecil di dekat rumah yang tak kunjung selesai pembangunannya, dia kini bisa berkunjung ke Blus Mosque nan tersohor itu. Dia bisa melampaui kakaknya, walau dulu sekolah di SMA Indonesia-Turki, tetapi tidak pernah berhasil meraih kesempatan ke Turki. Dia pun akhirnya bisa mengakhiri cerita-cerita di kampungnya nan selalu membandingkannya dengan kakaknya.
Kisahnya dengan Turki memang agak menarik. Selain di rumah belajar Turki-lah dia mulai menemukan mimpinya, orang-orang Turki pula yang menjadi teman bergaulnya ketika kuliah di Jogja. Hingga negeri eks kekhalifan Ottoman itu menjadi negeri yang pertama ia kunjungi. Uniknya karena bapak dari pemuda itu juga bernama Turki. Nama yang tidak lazim untuk urang Indonesia. Anehnya lagi, bukan hanya bapaknya, pamannya juga bernama sama: Turki.
Selamat atas wisudamu duhai pemuda. Prestasimu mungkin tak sehebat peraih medali emas Olimpiade Fisika. Kedahsyatan kisah Laskar Pelangi emang tak sebanding dengan engkau punya cerita. Pun tak akan banyak orang yang akan terharu dengan segala narasi ceritamu. Namun, engkau telah menjadji bagian dari bukti perjuangan. Bahwa kaum dhuafa negeri ini masih punya tempat untuk mimpinya. Bahwa orang biasa bisa menggapai asa dan cita. Bahwa tidak selamanya mimpi harus tinggi menjulang menembus angkasa. Bahwa mereka pun bisa memulai, walau terlambat dan tersendat, untuk meraih mimpi-mimpi kecil nan tertunda, walau tak begitu berharga bagi yang dikaruniai banyak daya. Selamat wahai adikku.
Pingback: Menulis Sejarah Sendiri: Merobohkan Aral, Meraih Mimpi (1) | A Call for Youth
Wah sungguh inspiratif sekali….
T_T saya terharu
kereeen. ini adiknya Nasikun toh 🙂