Mengapa Remaja Indonesia Perlu ke Luar Negeri Sejak Dini


Dalam bayangan sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang belum pernah mendapatkan kesempatan untuk menghirup udara di negeri asing, luar negeri selalu menimbulkan kesan yang ‘wow’ dan ‘luar biasa.’ Walau dalam beberapa hal pola pikir seperti itu bisa dibenarkan, namun dalam konstruksi pemikiran yang tepat hal tersebut lebih banyak salahnya, atau lebih buruk lagi, lebih banyak memberikan dampak negatif. Begitu pula fenomena pemujaan yang berlebihan kepada negeri baru, ketika seseorang baru mengunjungi negeri asing, juga muncul dari fenomena ini. Salah satunya adalah ke-latah-annya di media sosial untuk menunjukkan awal kehidupan awalnya di negeri asing, untuk memamerkannya kepada rekan-rekannya. Tidak bisa dikatakan salah memang, tetapi jika dilakukan secara tidak proporsional akan sangat menggelitik banyak orang yang melihatnya, bahkan kesan lebay atau kampungan-lah yang muncul.

Salah satu rekan saya yang sedang meneruskan studi ke Jepang dengan beasiswa kelas kakap sempat ditegur oleh adik angkatannya. Kurang lebih kalimatnya “Mas, jangan latah lah dengan hanya share ‘check-in’ di tempat-tempat wisata terkenal di Jepang. Tetapi berikanlah kami cerita yang lebih mendalam tentang kehidupan ente disana atau kebudayaan masyarakat Jepang.” Saya pun tersenyum kecil, geli juga mendengarnya, karena langsung kepikiran saat awal hidup di negeri asing pasti melakukan hal seperti itu: memenuhi facebook, wordpress, twitter, dan media sosial saya lainnya dengan berbagai foto kehidupan baru di negeri baru. Seperti yang saya tulis di awal, tidak salah memang, tetapi seringkali porsinya berlebihan.

Fenomena ini adalah salah satu dampak dari masih minimnya kesempatan masyarakat Indonesia untuk mengikuti berbagai program agar bisa hidup di luar negeri. Dengan semakin banyaknya peluang bagi pemuda Indonesia ke luar negeri, diharapkan kejadian-kejadian seperti itu tidak akan terjadi. Ada (4) empat alasan pendukung yang mengapa sebagai pemuda-pemudi Indonesia, kita perlu se-awal mungkin merasakan kehidupan di luar negeri.

1. Tidak Mudah Terpukau dengan Luar Negeri

Kita sering mendengar kabar tentang ‘Kunjungan Kerja’ pejabat Indonesia ke luar negeri yang akhirnya berakhir di pusat perbelanjaan atau pusat hiburan negeri tersebut. Pun kisah beberapa orang yang sangat bangganya memamerkan bajunya yang dibeli dari New York. Begitu juga kisah beberapa pejabat menengah yang dengan begitu congkaknya mencerikan kisah perjalanannya dari Putra Jaya, Petronas Twin Tower, hingga Johor Bahru. Kisah-kisah keterpukauan yang berlebihan pada luar negeri, cara pandang yang perlu dibenahi dalam menyikapi kata ‘luar negeri.’ Bagi orang yang sejak muda pernah ke luar negeri, tentunya dia sudah tahu banyak hal tentang kehidupan di luar sana serta paham bagaimana harus menyesuaikan diri. Jika dia menjadi pejabat nanti, alasannya untuk mengadakan studi banding ke luar negeri tidak akan lagi untuk jalan-jalan, karena sudah pernah dan telah tahu rasanya, tetapi beneran untuk mencari ilmu. Begitu pun kisah-kisahnya di luar negeri akan disampaikan dengan cara yang lebih bijak dan tidak latah di sosial media.

Ketika seseorang sudah pernah ke luar negeri, lalu berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara, dia akan tahu keadaan masing-masing bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saat dia berinteraksi dengan kawannya dari negeri A, dia akan tahu bagaimana kondisi ekonomi negara kita, karakter masyarakatnya, nilai-nilai kebudayaan yang menjiwai kehidupan mereka, hingga mungkin kekonyolan-kekonyolan di negara itu (hal-hal yang bagi kita sangat sederhana tetapi tidak bisa terwujud disana). Saat wawasannya lebih terbuka, selain keminderannya akan bangsa lain berkurang, pemujaan yang berlebihan pun akan lambat laun hilang, dan akhirnya mampu menempatkan diri dalam posisi terbaik saat memandang bangsa lain: bahwa benar banyak bangsa yang jauh lebih maju dari Indonesia, tetapi fakta bahwa banyak hal yang ada di Indonesia dan tidak ada di negara lain juga harus kita jadikan perbandingan agar lebih pas dalam menilai.

2. Lebih Bijak dalam Melihat Indonesia

Kelanjutan dari poin pertama di atas, kita akan lebih menghargai bangsa ini dengan segala keunikannya. Memang kita masih kalah jauh dibanding Jerman dalam bidang teknologi, atau dari Amerika dalam bidang Ekonomi, atau dengan Jepang saja kita memang belum bisa mendekati kemampuan sepak bola mereka, tetapi hal-hal tersebut tidak lantas membuat kita merendahkan bangsa sendiri. Kita punya bahasa daerah lebih dari 300 jenis (bukan hanya logat/dialek), banyak sumber daya alam kita yang produksinya masuk 10 besar dunia (walau memang belum bisa teroptimalkan dengan baik), banyak pelajar kita yang ketika kuliah di luar negeri pun mempunyai prestasi teratas di tempatnya, hingga sikap ramah dan mudah bergaul bangsa kita yang disukai banyak pelajar dari berbagai bangsa.

15-30 tahun lagi generasi kita lah yang akan menjadi pengambil kebijakan di negeri ini, jika mental ‘terjajah’ peninggalan Belanda masih tetap melekat di alam bawah sadar kita, maka martabat bangsa kita tidak akan muncul dalam forum-forum Internasional. Ibarat 40 anak dalam satu kelas di SMA, tidak adil jika kita hanya melihat kemampuan Main Piano mereka, kita juga perlu melihat kemampuan Matematika, kesenian, olah raga, sikap moral, atau juga kepedulian sosialnya; bangsa kita pun dalam berkehidupan dengan bangsa-bangsa lain tidak bisa selalu kita banding-bandingkan dalam beberapa hal saja yang menjadi kekurangan kita, tetapi kita harus melangkah maju dan bangga dengan kelebihan kita.

3. Visi Hidup yang Lebih Jauh ke Depan

Melalui interaksi dengan banyak pemuda dari berbagai negara dan merasakan kehidupan di tanah asing, pandangan kita semakin luas. Kita akan tahu karakter masing-masing bangsa, bagaimana nilai sosial dan sejarah mereka membentuk bangsanya hingga seperti sekarang, bagaimana posisi Indonesia dibandingkan dengan mereka saat ini, hingga proyeksi bangsa itu ke depan akan seperti apa. Kita menjadi pemuda yang lebih bergairah untuk mengembangkan diri, bukan cuma agar bisa mendapatkan nilai terbaik dan pujian sekitar, tetapi untuk bangsa kita di masa depan. Karena fakta bahwa kita sekarang masih tertinggal dari banyak bangsa tidak bisa kita pungkiri, langkah kita selanjutnya adalah menjadi bagian dari bangsa ini untuk bisa berlari jauh ke depan dengan segala potensinya untuk mengejar kemudian mengalahkan mereka. Ketika banyak teman-teman kita tidak henti-hentinya melampiaskan kekecewaannya pada bangsa, serta terjauh pada pesimisme dan apatisme akut, sehingga kehilangan gairah, kita menjadi orang sebaliknya: yang bergairah demi masa depan bangsa.

Lulusan ITB tidak akan terlalu merasa jumawa ketika sudah pernah berinteraksi dengan profesor dari MIT atau UT Delf, begitu juga dengan alumni UGM akan lebih rendah hati kepada masyarakat setelah melihat bagaimana karakter profesor-profesor di Tokyo University atau Harvard yang tetap sederhana (walau tidak semuanya, tentunya). Kompetisi kita bukan hanya dengan bangsa kita sendiri, tetapi 15-30 tahun lagi kita harus menjadi pribadi yang lebih hebat dari luusan Harvard, Cambridge, UCLA atau kampus-kampus super lainnya. Semangat meningkatkan kualitas diri akan semakin tinggi dan secara tidak langsung kompetensi diri akan meningkat.

Kemudian saat kita berada di luar negeri, waktu dan pikiran kita akan lebih banyak kita gunakan untuk memikirkan kontribusi kita kepada masyarakat sekitar, bukan sekedar jalan-jalan memuaskan target pribadi semata. Akhir pekan kita menjadi lebih bermanfaat bagi sekitar kita, bukan hanya habis di tempat-tempat wisata atau hiburan, walau tentunya hal-hal seperti itu perlu dalam kadar tertentu. Semangat untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa senantiasa kita aktulalisasikan dengan kerja nyata di lapangan bersama masyarakat dan pelajar lainnya.

Sosialisasi PEMILU di Gwangju

Sosialisasi PEMILU di Gwangju

4. Jauh dari Sikap Pongah

Dengan perspektif pandangan yang semakin luas, kita makin tahu akan dunia dan kompetisinya. Kita yang dulu menjadi juara di SMA atau kampus masing-masing akhirnya harus menjadi manusia biasa (atau malah lebih buruk lagi, menjadi penghuni zona degradasi dalam klasemen ranking kelas) dalam beberapa kesempatan di luar negeri. Dengan keadaan seperti itu, tentunya kita tidak mau direndahkan oleh orang. Konsekuensi logisnya adalah ketika kita pulang ke tanah air, kita pun akan lebih bijak memperlakukan kawan-kawan kita yang dalam beberapa hal kalah dibanding kita. Kemudian saat kita tampak hebat/memenangkan sesuatu yang sangat besar pun kita tidak akan langsung sombong karena kita punya masa ‘suram’ sebagai pecundang atau minimal masih banyak orang di luar sana yang jauh lebih hebat dibanding dengan kita.

Poin 3 yang menunjukkan optimisme serta poin 4 yang menjadi pengontrol mental kita, akan saling menyeimbangkan sehingga rasa percaya diri kita tidak terlalu berlebihan atau sebaliknya sifat inferior terhadap asing pun tidak muncul. Dengan kombinasi ini kita bisa menjadi pribadi yang berkompetensi global tetapi dengan sifat kerendahan hati seperti anak kampung. Masyarakat sekitar pun akan kita bawa maju bersama, karena motivasi kita mengarah pada kemajuan bersama sebagai bangsa, bukan hanya kesuksesan individu semata.

Semoga tulisan singkat ini bisa semakin memotivasi penulis dan kita semua agar lebih bangkit dan bekerja keras meningkatan kompetensi diri, sehingga kita mampu menempatkan diri secara pas dalam percaturan kompetisi global serta mempunyai orientasi yang tepat bagi masa depan diri dan bangsa kita.