3 Orang 2 Profesi 1 Tujuan
Allah SWT menciptakan milyaran manusia dengan ciri khas-nya masing-masing, kelebihan yang tentunya dibarengi dengan beberapa kekurangan, Toh namanya manusia, kekurangan itu wajar adanya, asal tidak dibiasakan dan di’ternak’ saja. Dengan sedikit kelebihan yang kita miliki, kadang rasa sombong itu muncul, walau tidak disengajar. Jika kita mampu menundukkan rasa kesombongan, lalu menyerap keunggulan dari masing-masing individu itu, betapa banyaknya hal yang bisa kita pelajari.
Berangkat dari semangat itulah saya berikhtiar untuk bergaul dengan banyak orang di Korea, khususnya para pejuang agama Allah, orang-orang yang meng-hibahkan waktu, tenaga, pikiran, hingga won-nya untuk menguatkan dakwah di bumi Korea. Masing-masing orang punya cara dan kontribusinya masing-masing. Melalui interaksi dengan merekalah semangat saya selalu terbakar, untuk tidak mudah puas, agar selalu rendah hati dan senantiasa meningkatkan diri.
Ada 3 kisah singkat, sangat sederhana namun begitu berkesan bagi saya. Kisah sehari-hari, yang menunjukkan karakter seseorang secara murni, tanpa kesan dibuat-buat apalagi manipulasi pencitraan diri.
Kerja dari Jam 09.00 Pagi Hingga Pukul 24.00 Malam, Hampir 30 Hari Sebulan tetapi Masih Sempat Mengurus Ummat
Dalam menjalankan peran sebagai juru ketik KMI (Komunitas Muslim Indonesia di Korea Selatan), saya sering berinteraksi dengan para ketua/amir Masjid/Mushola KMI. Suatu malam saya ditelpon oleh seorang ketua mushola dari bagian Barat-Daya Korea Selatan untuk berdiskusi tentang beberapa hal. Seperti biasa setelah diawali dengan guyonan lalu membahas maksud utama kegiatan telpon-menelpon tersebut, kami sambung dengan ngobrol santai tentang aktivitas kami masing-masing.
Beliau mengatakan bahwa jam kerjanya mulai jam 09.00 pagi dan berakhir pukul 24.00 malam. 7 hari selama seminggu. Ya benar, tidak ada libur, termasuk hari Sabtu-Ahad. Dan itu berlaku untuk seluruh hari dalam sebulan. Beliau hanya diberi izin untuk libur 1-2 kali dalam sebulan, tentunya dipakai untuk hal-hal yang sangat penting.
Dengan kondisi seperti itu tentunya banyak yang akan lupa akan aktivitas sosial, apalagi jika harus mengurusi banyak orang. Selain sudah sangat capai, tentunya menambah pusing jika harus berurusan dengan banyak orang. Tetapi beliau mengambil langkah yang sangat berbeda, beliau sekarang menjabat sebagai ketua komunitas masyarakat Indonesia di kotanya, yang harus mengurusi jamaah mushola, aktivitas kesenian, olah raga, dan keminatan lain-lainnya.
12 Jam Perjalanan demi 2.5 Jam Rapat
Akhir pekan kemarin kami mengadakan Rapat Kerja (RAKER) KMI. Karena pengurus kami tersebar di seluruh Korea Selatan dan rata-rata masih kerja/penelitian sampai hari Sabtu, kami mengadakan pertemuan pada hari Ahad di Waegwan (Korea bagian Tengah agak Selatan, antara Daejeon dan Daegu). Rapat kami berlangsung sangat singkat (apalagi untuk ukuran RaK1er), dari ba’dha Dzuhur (jam 13.30) sampai menjelang Ashar (4.20); kurang dari 3 jam, belum lagi dipotong pembukaan dan sambutan-sambutan, serta perkenalan.
Akan tetapi, untuk mencapai rapat itu banyak di antara kami yang harus melakukan perjalanan jauh, dengan ongkos pribadi tentunya. Salah satu pengurus kami (bagian PSDM) berangkat pukul 08.00 pagi dan sampai di tempat acara jam 14.00. Setelah rapat pun langsung pulang ke kota asalnya di Gwangju dan baru sampai rumah lewat tengah malam, untuk kemudian harus mengerjakan “PR” organisasi dan siap-siap ke kampus besok harinya. Untuk mengikuti rapat yang tak sampai 2.5 jam, dia harus menempuh perjalanan hampir 12 jam. Dari bus dalam kota, lalu harus menunggu bus antar kota, kemudian sampai di Daegu harus mencari bus ke Waegwan, dilanjutkan dengan naik taksi (walau agak desa, tak ada ojek/becak di sini, jadi harus naksi).
Sungguh langkah yang sangat tidak efektif dan efisien, bahkan bisa dianggap bodoh oleh teori manajemen pragmatis. Kami dengan mudah bisa menggunakan Skype agar beliau bisa ikut rapat: mudah, murah, efisien, dan relatif efektif. Akan tetapi, demi bersua dengan saudara seiman dan seperjuangan, waktu tersebut beliau investasikan dalam perjalanan, untuk semakin menguatkan kekompakan kami secara tim dalam rangka membangun dakwah yang lebih komprehensif di Korea Selatan.
Berkarya Tanpa Diperintah, Memimpin Tanpa Harus Menjabat
Saya mengenalnya sejak Maret 2009 ketika program pertukaran pelajar di Daejeon University. Mulai saat itu kontribusinya pada komunitas muslim Indonesia di Daejeon tidak diragukan lagi. Beliaulah yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan orang Korea, dengan kemampuan bahasa Koreanya yang sudah seperti native speaker. Puncak apresiasi saya muncul ketika saya mengikuti program SILAKBAR (Silaturahim Akbar) 2013 yang diadakan di Daejeon.
Saat persiapan acara pagi hari, beliau adalah rombongan pertama yang berangkat ke lokasi, mengoordinasikan kawan-kawan panitia untuk persiapan tempat walau malam sebelumnya hanya bisa tidur tak lebih dari 2 jam. Setelah acara berjalan lancar, setiap orang tampak sangat senang bisa berfoto bareng dengan Ust. Felix Y. Siauw, ulama muda yang sedang naik daun. Di saat yang sama beliau mulai mengajak kawan-kawan lainnya untuk beres-beres ruangan, bersih-bersih lantai. Sampai di sini tampak biasa, karena beliau panitia di bagian itu.
Kala semua peserta sudah pulang, termasuk beberapa panitia lain, beliau berkeliling lokasi dan mengecek tempat, memastikan semuanya sesuai dengan seharusnya, sesuatu yang barangkali bukan kewajibannya. Beliau mengecek sampah kegiatan, lalu menatanya ulang dan memindahkan ke plastik hijau besar (karena itulah peraturan di Sintanjin, lokasi acara), serta memungut sampah-sampah yang tercecer. Lokasi acara pun beliau pel dengan kawan-kawan, hingga akhirnya beliau menjadi rombongan terakhir yang pulang ke masjid, untuk koordiansi terakhir. Alih-alih mendapatkan fasilitas jemputan seperti lainnya, beliau harus rela dingin-dingin bersama kawan-kawannya menunggu bus yang baru datang 1 jam kemudian.
Itulah sepenggal kisah luar biasa dari orang-orang biasa yang saya temui, cerita-cerita keseharian yang membuat semangat ini semakin terbakar, untuk mengurangi waktu tidur, untuk semakin memberikan yang terbaik kepada sekitar, walau tak banyak yang tau, pun tanpa apresiasi dari orang lain. Semoga kita semua bisa meneladani semangat kontributif mereka kepada orang lain.
“Semoga kita semua bisa meneladani semangat kontributif mereka kepada orang lain.”
Amiin
pun sama di negeri sendiri dek. Kemarin berhubungan dengan sebuah lembaga zakat daerah di magelang, saya bertemu salah satu anggotanya yang luar biasa. Dia dulunya mendapatkan beasiswa dari lembaga zakat tersebut. Dari sebuah desa kecil di Sawangan, membawa mimpi yang besar, di pindah ke Magelang, melanjutkan studynya di universitas Muhamadiyah Magelang (yang tentunya kualitasnya masih jauh sekali dibanding UGM) dari jam 7 sampai sekitar ashar, lalu malemnya beliau bekerja di Armada dari jam 5 sampai jam 1-2 malam. Saya jadi merasa wajib malu karena orang2 seperti beliau ini lebih berhak sepertinya untuk kuliah di universitas sekualitas UGM dibanding saya. Oh iya, beliau aktiv juga di dewan dakwah islamiyah indonesia yang minggu kemarin mengadakan tabligh akbar air mata suriah