Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC : Nasikun Bangga Indonesia !!!


Bangga Indonesia!!

Bangga Indonesia!!

Alhamdulillahirobbil’alamin  telah genap 1 bulan kembali menetap di tanah air setelah 2 semester mengikuti program pertukaran pelajar di Daejeon University, Korea Selatan. Sebagai duta bangsa yang membawa nama agung Indonesia, saya merasakan kondisi mental yang begitu luar biasa melihat aktivitas warga Indonesia di Korea Selatan.

Dan sekarang pun saya  bisa menarasikannya untuk lomba Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC dengan tema kebanggaan kita pada bangsa ini. Informasi lebih lanjut tentang lomba bisa dilihat di www.mudaers.com. Anyway, Mari sama-sama kita nikmati pengalaman penulis selama di negeri ginseng.

Berdomisili di negeri asing, warga Indonesia memiliki karakter yang unik, sebagai hasil dari pengaruh budaya dan lingkungan Indonesia. Karakter itulah yang membuat saya secara pribadi bangga memiliki rekan-rekan seperjuangan dengan karakter khas.

Di tengah himpitan gagasan modernisasi yang melahirkan pribadi – pribadi individualis, masyarakat Indonesia tetap kokoh dalam karakternya yang “guyub.” Dengan quantitas yang sedikit, warga Indonesia di Korea Selatan mampu mempertahankan kesolidannya sebagai satu entitas tunggal masyarakat Indonesia.

TKI (Tenaga Kerja Indonesia)

Sekitar 20,000 TKI di Korea Selatan berhimpun dalam KMI (Komunitas Muslim Indonesia) yang mewadahi hampir semua pekerja di Korea Selatan. Selain itu, di masing – masing kota besar telah berdiri musola – musola sebagai wadah silaturahim kawan – kawan Indonesia di Korea, baik pekerja maupun pelajar. Bagi kawan – kawan pelajar, kami memiliki Perpika (Persatuan pelajar Indonesia di Korea) dengan misi  besar mengorganisir aktivitas mahasiswa Indonesia di Korea Selatan.

Makan Bersama di Mushola An-Noor, Daejeon

Makan Bersama di Mushola An-Noor, Daejeon

Nah, komunitas seperti ini nih yang belum dimaksimalkan kawan – kawan dari negeri lain yang meskipun mempunyai basis massa yang cukup di Korea. Suatu hari, seorang profesor dari Vietnam berkunjung ke Musola An-Noor di Daejeon, markas-nya kawan – kawan Indonesia. Beliau terpukau dengan adanya sarana berkumpul seperti ini, apalagi pelajar dan pekerja bisa melebur dalam obrolan renyah dan akrab.

Beliau menceritakan bahwa meskipun jumlah pekerja Vietnam di Korea Selatan juga banyak, namun interaksi antarmereka tidak signifkan. Apalagi antar pekerja dan pelajar, masih jauh panggang dari api. Inilah kebersamaan masyarakat Indonesia yang membanggakan.

Karakter guyub masyarakat Indonesia di Korea Selatan juga bisa menarik pendatang lain untuk masuk ke lingkaran persaudaraan kami. Interaksinya dengan warga Indonesia membuatnya akrab dengan budaya kami dan berkeinginan mengenal lebih dalam. Salah satunya adalah kawan saya di Kampus, Yongsop, yang senang makan masakan Indonesia setelah saya provokasi untuk mampir ke warung makan Indonesia di Daejeon. Saya pun juga telah mengajak dia mampir ke musola setelah menyantap hidangan khas Indonesia di warung makan Indonesia.

DICC Movie Screening

DICC Movie Screening

Kebersamaan itu pulalah yang juga sering menginspirasi kawan – kawan lain. Sering ngerasa bangga nih jadi warga Indonesia ketika mikirin kebersamaan kami selama di Korea Selatan. Bukan hanya orang luar negeri saja yang kagum, penduduk Korea pun juga senang dengan kebersamaan kami.

Salah satu contohnya adalah dalam perayaan Idul Adha di selter AMID, dua hari setelah hari Idul Adha karena kebetulan saat itu Idul Adha pas hari Jum’at dan para pekerja harus ke pabrik sementara pelajar mesti duduk di bangku kuliah, jadi perayaannya diundur 2 hari.

Makan Sate di Idul Adha

Makan Sate di Idul Adha

Sekitar 150 pelajar dan pekerja Indonesia di Daejeon ngumpul bareng setelah Dzuhur untuk menikmat sate kambing yang telah disiapkan tim koki khusus dari “jogres” mahasiswa dan pekerja. Mbak Meggie (Margareth) menjadi motor penggerak dari mahasiswa serta Mas Abdul dan Cak Mat adalah sang penggerak dari pekerja.  Tokoh – tokoh selter AMID yang kami undang pun kagum dengan berkumpulnya orang segitu banyak. Belum pernah warga Negara lain menggunakan selter untuk tempat perkumpulan dengan peserta sebanyak itu.

Contoh lagi ketika perayaan Idul Fitri di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di ibu kota negara, Seoul. Dari malam takbir telah berdatangan pekerja dan pelajar Indonesia ke KBRI untuk menggemakan kebesaran Allah sekaligus menginap di KBRI. Ketika hari-H pelaksanaan sholat Ied, seluruh halaman KBRI dipenuhi jamaah sholat Ied yang jumlahnya sekitar 5.000 (dari laporan petugas KBRI) yang datang dari berbagai penjuru kota di Korea Selatan.

Idul Fitri di KBRI

Idul Fitri di KBRI

Setelah itu, dengan teman dari Malaysia saya menuju kedutaan besar Malaysia sekitar 30 menit dari KBRI. Mungkin sudah telat, karena kami sampai siang hari, ketika kami tiba di kedubes Malaysia tampak lebih sedikit peserta disana. Bahkan rasa kesukuan mereka masih tinggi, etnis China bergerombol sendiri sementara kawan – kawan Melayu juga membentuk kelompok di pojok yang lain.

Bangga nih rasa seperti itu tidak muncul di kalangan kawan – kawan Indonesia. Meskipun kami dari berbagai suku di Indonesia, tinggal di berbagai kota di Korea, menjadi pekerja atau pelajar, kerja dengan gaji yang bervariasi, dan kuliah di kampus dengan branding nama yang berbeda, kami masih solid dan utuh. 5000 orang duduk bersama dan setara. Mereka pun bergaul dengan akrab satu dengan yang lain.

Kedua, selain dengan rasa ke-guyub-annya, masyarakat Indonesia di Korea juga menjadi tokoh – tokoh kreatif dan inspiratif bagi masyarakat tempat dia berada. Laksana lampu bohlam di kamar yang gelap, keberadaan mereka menjadi sumber cahaya bagi yang lain. Bagai lokomotif kereta, mereka pulalah yang mengarahkan gerbong – gerbong dalam masyarakat.

Contoh nyatanya adalah dalam program pertukaran pelajar yang saya ikuti, International College Students Exchange Program between ASEAN and Republic of Korea, di Universitas Daejeon, Daejeon. Selama dua semester di Korea Selatan, 20 mahasiswa ASEAN menimba ilmu Teknologi Informasi (IT) dari Universitas Daejeon.

Kevin Tanadi (ITB), Ni Nyoman Yudhiarti (UUM-Malaysia), Ahmad Nasikun (UGM), Alifia Fithritama (UI), dan Hendro Lim (ITB)

Kevin Tanadi (ITB), Ni Nyoman Yudhiarti (UUM-Malaysia), Ahmad Nasikun (UGM), Alifia Fithritama (UI), dan Hendro Lim (ITB)

Dari 20 mahasiswa itu, mahasiswa – mahasiswa Indonesia menjadi panutan peserta dari negara lain. Ketua suku dari 20 mahasiswa ASEAN adalah Hendro Lim, mahasiswa ITB angkatan 2005. Bukti bahwa warga Indonesia mampu menginspirasi dan memimpin. Di bidang IT, Kevin Tanadi, adik kelas Hendro di ITB, diakui oleh kawan – kawan yang lain sebagi master IT. Dia pun seperti guru ke-2 bagi peserta program jika mereka membutuhkan pendampingan di bidang perkomputeran.

Di bidang akademik, ketekunan dan keteguhan Alifia Fithritama menginspirasi peserta yang lain untuk bisa menandinginya. Mahasiswi asal Solo yang berkuliah di Teknik Elektro UI ini menjadi favorit hampir semua dosen yang mengajar karena performanya di kelas yang mengungguli siswa lainnya. Layaknya sang bintang kelas nih.

Lain ladang lain belalang. Selain ketiga inspirator tadi, ada satu lagi peserta dari Indonesia yang memberi warna kekreativitasan dalam komunitas kami. Ni Nyoman Yudhiarti, mahasiswi Indonesia yang kuliah di Malaysia selalu tampil ceria dimana pun dia berada. Dia juga punya ide – idea kreatif dalam diskusi.  Jiwa “traveler”-nya membawanya kemana – mana. Dialah yang menginspirasi yang lain untuk sering jalan – jalan selama di Korea. Dan karena itu pulalah dia berhasil  memenangi lomba blog tentang Korea, hasil dari rekam jejak perjalanannya di Korea Selatan.

Adalah sebuah karunia Ilahi kita dilahirkan sebagai warga Indonesia. Untuk setiap kebatilan yang terjadi di negeri ini, kita wajib memeranginya, setiap kesalahan pemimpin kita, wajib diingatkan, namun, kita juga mesti mempersiapkan diri kita untuk menjadi pemimpin generasi berikutnya yang akan menggantikan mereka. Mari terus belajar dan berkontribusi untuk semakin membuat diri kita bangga akan Indonesia.