Pemilu 2009


Untuk pertama kalinya sejak turunnya Soeharto, presiden Indonesia memasuki tahun kelimanya di Istana negara. Jika Pak Habibie dulu hanya meneruskan pemerintahan Soeharto, kemudian pemilu dipercepat di masa beliau, zaman GusDur pun tidak jauh beda. Di tengah – tengah masa pemerintahannya beliau diturunkan. Lalu diteruskan oleh Bu Mega, wanita pertama di negeri ini yang menjadi presiden. Lima tahun yang lalu, pemilu pun berhasil mencetuskan SBY sebagai presiden negeri berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa ini. Dan akhirnya beliau bertahan sampai 2009. Bahkan popularitas beliau pun makin naik di akhir masa kepengurusan, dengan implikasi logis beliau masih sangat berpeluang untuk menjadi presiden di masa berikutnya.

Sekian pembuka dari tulisan ini. Itu bukanlah inti dari blog ini, hanya sekedar pembuka dari tulisan berikutnya.

Pemilu. Simbol dari sebuah demokrasi. Lambang supremasi hukum negara dengan dasar demokrasi. Simbolisasi penyerahan mandat pemerintahan dari rakyat pada pemimpin yang mereka yakini. Legitimasi bagi calon presiden untuk bisa menjalankan mandat.

Saya mencoba melihat pemilu sebagai simbol dari demokrasi serta bagaimana kita mesti menyikapinya.

Demokrasi. Sistem dimana segala sesuatu didasarkan pada rakyat. Sistem dibuat oleh (perwakilan) rakyat, serta ditujukan untuk rakyat. Mari kita cermati disini. Manusia diminta membuat sistem untuk diri dan lingkungan mereka sendiri. Coba kita analogikan dengan kambing yang kita biarkan membuat aturan untuk diri dan komunitas mereka sendiri. Hasilnya sangat jelas, hukum mereka pasti tidak bijak, memihak kalangan tertentu, cenderung mereka sesuaikan dengan ego mereka serta sangat labil dan tidak bisa bertahan untuk jangka waktu yang lama.

Kambing (dalam perspektif kita) tidak memiliki cukup kompetensi untuk membuat peraturan bagi diri mereka sendiri. Hukum yang mereka hasilkan untuk diri dan lingkungan mereka pun pasti akan cacat. Tidak mungkin bisa memfasilitasi segala aspek kehidupan mereka. Lalu bagaimana yang terbaik? Minimal hukum tersebut dibuat oleh manusia yang memiliki pemahaman yang lebih terhadap kehidupan kambing.

Hal yang cukup mirip juga terjadi dengan manusia. Jika manusia diminta membuat hukum sendiri, hukumnya pasti cacat. Tidak menyeluruh dan pasti memihak serta tidak bertahan lama. Bukti konkretnya adalah adanya amandemen yang berulang – ulang terhadap undang – undang tertentu, komplain dari berbagai pihak terhadap isi suatu peraturan serta ditolaknya suatu rancangan undang-undang oleh suatau kalangna masyarakat. Ini karena manusia tidak memiliki cukup kapasitansi dalam rangka membuat peraturan untuk diri mereka sendiri.

Lalu bagaimana? Jawabannya singkat: Peraturan manusia harus diciptakan oleh Sesuatu yang paling mengerti tentang manusia (baca: Maha Mengetahui) yaitu ALLAH SWT. Dialah yang menciptakan manusia, sehingga tiada sesuatu pun yang lebih mengerti tentang sifat dasar manusia daripada Dia. Dia mengerti hukum seperti apa yang paling cocok untuk manusia karena ALLAH paham betul seberapa batas toleransi untuk manusia, bagaimana kemampuan minimal manusia, serta ambang batas kuasa manusia. Jadi, sangatlah wajar jika kita menggunakan hukum-Nya.

So, apakah kita masih merasa SOMBONG dengan menciptakan aturan untuk kita sendiri? atau dengan legowo mengakui keagungan-Nya lalu menggunakan hukum-Nya. Wallahualam bishshab…